BAB 1
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Perang Salib merupakan satu peristiwa yang telah mencatatkan bahwa
golongan Kristian telah berjaya menawan jerusalem (Baitul Maqdis) dari
pemerintahan umat Islam. Ia menjadi lambang kejatuhan umat Islam tahun 1099.
Pada tahun 1187 Salahuddin al-Ayyubi telah berjaya membebaskan jerusalem dari
pihak Tentera Salib. Ini menjadi bukti keagungan Salahuddin al-Ayyubi di dalam
memimpin pasukannya. Makalah ini membicarakan mengenai kejayaan Salahuddin
al-Ayyubi untuk mengembalikan Baitul Maqdis kepada umat Islam. Kajian ini
dilakukan berdasarkan sejarah serta analisis terhadap peristiwa tersebut.
Makalah ini menjelaskan bahwa rencana yang dimulai pada zaman Nuruddin al-Zinki
telah sukses diteruskan pada zaman Salahuddin al-Ayyubi sehingga terbebasnya
Baitul Maqdis dari tangan Tentera Salib.
BAB 2
PEMBAHASAN
1.
PENGENALAN
Masalah Palestina saat ini bukan hanya menjadi persoalan umat Islam
semata. Masalah ini telah menjadi isu global atas rasa kemanusiaan dan
keadilan. Namun, bagi umat Islam Palestina yang didalamnya terdapat kiblat
pertama kaum muslimin tentu memiliki arti tersendiri.
Al-Quds, Palestina ditaklukkan umat Islam sebanyak dua kali pada
masa amirul mukminin Umar bin Khattab pada tahun 637 M setelah melalui
perjuangan yang panjang. Pintu gerbang penaklukan Al-Quds diawali dengan kemenangan
kaum muslimin pada perang Yarmuk yang terjadi pada Senin, 5 Rajab 15 H (Agustus
636). Seratus dua puluh ribu pasukan artileri, ditambah delapan puluh ribu
pasukan berkuda Romawi bertemu dengan tiga puluh enam ribu pasukan Islam.
Singkat cerita Al-Quds berhasil ditaklukkan setelah dikepung selama enam bulan.
Penaklukan heroik yang kedua adalah di masa Shalahuddin Al-Ayyubi
pada 27 Rajab 583 H atau 2 Oktober 1187 M. Saat umat Islam di ambang kehancuran
karena kemerosotan, kemunduran, kecintaan akan dunia, pertikaian dan
perseteruan. Pasukan Salib tidak akan
memasuki negeri-negeri Islam, menguasai tempat suci dan menduduki tempat isra’
Rasulullah kecuali mereka melihat keadaan umat Islam yang sedang mengalami kelemahan
dan di ambang kehancuran.
Pasukan Salib berkumpul di Konstantinopel dan bergerak maju ke
Antiokhia. Setelah Antiokhia dikuasai dengan blokade selama delapan bulan,
mereka bergerak menuju Jerussalem. Sebulan lamanya Jerussalem dikepung dan
akhirnya jatuh ke tangan Salib pada tahun 492 H/1099 M. Saat itulah pasukan
Salib melakukan tindakan yang tidak pernah diajarkan oleh agama-agama samawi
manapun dan di luar nalar kemanusiaan. Tujuh puluh ribu kaum muslimin dibantai
sampai-sampai aliran darah itu berubah menjadi sungai di Masjid Al-Aqsa,
lorong-lorong dan perempatan.
Ibnul Atsir menggambarkan ekpresi kesedihan masyarakat Islam waktu
itu, “Para pengungsi Syiria tiba di Baghdad pada bulan Ramadhan ditemani oleh
Al-Qadhi Abu Sa’id Al-Harawi. Di istana Khalifah, dia menyampaikan perkataan yang
membuat mata menangis dan hati bergetar. Pada hari jumatnya, para pengungsi itu
berdiri di masjid Jami’. Mereka meminta pertolongan dan menangis. Mereka
menceritakan apa yang menimpa kaum Muslim, yaitu pembantaian kaum laki-laki,
penawanan kaum wanita dan anak-anak dan perampasan harta benda. Masyarakat pun
menangis mendengar tragedi yang menimpa mereka.”
2.
KEBANGKITAN UMAT ISLAM
Setelah penyerbuan dan pembantaian itu, pasukan Salib menguasai
negeri Syiria, mereka mendirikan pemerintahan kecil di pantai-pantai Syiria,
yang membentang dari teluk Iskandariah hingga Askalon dan dari teluk Aqabah
hingga utara Ar-Ruha (Edessa).
Kesuksesan pasukan Salib menduduki Al-Quds ini hanya dapat
ditanggulangi dengan satu cara, yaitu kebangkitan Islam. Kebangkitan Islam secara
penuh yang menyatukan wilayah timur Islam dan menggabungkan bagian-bagiannya
yang terpecah untuk mengusir musuh dan menundukkannya.
Geliat kebangkitan mulai terwujud dengan kebangkitan dinasti Zanki
di Mosul. Imaduddin Zanki menyusun negara yang kuat membentang dari Mosul
hingga Ma’arat An-Nu’man pada 521 H. Imaduddin mulai melakukan
serangan-serangan terhadap pasukan Salib dan yang paling mematikan adalah
serangan di Ruha pada 539 H.
Imaduddin secara tegas mengatakan akan fokus memperkuat fondasi umat
Islam dan mempersiapkan diri untuk menghadapi seluruh bahaya yang mengancamnya
dari segala arah terutama pasukan Salib. Perlu diketahui saat itu terjadi
konflik internal umat Islam karena fanatisme madzab dan munculnya aliran-aliran
baru perusak aqidah Islam. Maka, Imaduddin lebih menyibukkan diri dengan usaha
membangun umat Islam baru daripada terus menerus bersusah payah memperbaiki
umat yang sedang sekarat dan semua elemennya begitu rapuh.
Setelah Imaduddin syahid karena sekelompok pemberontak, posisinya
digantikan oleh Nuruddin Zanki. Pada era Nuruddin inilah terjadi perubahan yang
besar. Kesultanan Zanki menjadi pusat pertemuan tokoh-tokoh yang memiliki visi
reformis dan murid-murid madrasah reformasi. Nuruddin membuka pintu lebar-lebar
bagi setiap orang yang mau berjuang di
jalan Allah sekalipun madzab dan afiliasinya berbeda. Setelah itu, kesultanan
menyalurkan setiap potensi individu dan kelompok untuk melaksanakan tugas
operasional dalam koridor manajemen yang umumnya digunakan di masa itu.
Kebijakan yang diterapkan oleh Nuruddin Zanki memiliki enam
karakteristik yang menonjol yaitu :
a.
Mempersiapkan masyarakat islami, membersihkan
kehidupan keagamaan dan budaya dari perngaruh aliran pemikiran yang menyimpang
seperti aliran kebatinan, filsafat yunani dan tatacara ibadah serta ritual yang
dikembangkan oleh kerajaan Fathimiyah.
b.
Membangun manajemen pemerintahan
yang Islami, meratakan keadilan dan solidaritas sosial.
c.
Menghilangkan permusuhan antar
madzab, membangun kekuatan-kekuatan Islam dan mengkoordinasi potensi dalam satu
pola aksi dan kepemimpinan yang integral serta saling mendukung.
d.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur publik.
e.
Membangun kekuatan militer dan
mengembangkan industri perlengkapan perang.
f.
Menghapus kerajaan-kerajaan kecil
yang tersebar di wilayah Syam dan menyatukan kendali pemerintahan Syam, Mesir
dan Jazirah Arab.
Nuruddin memandang bahwa manusia Muslim sebaagi fundamen utama bagi
kontruksi Al-Ummah Muslimah. Strategi ini mencerminkan integritas seluruh
institusi dan lembaga,sehingga meliputi pendidikan yang menjadikan generasi
muda sebagai fokus bidikannya, pengajian dan ceramah umum yang berfungsi
mengarahkan masyarakat umum dan pendidikan militer guna mempersiapkan seluruh
elemen umat untuk menghadapi berbagai macam tantangan dan bahaya yang ada saat
itu.
Nuruddin menjadikan madrasah sebagai institusi kajian Al-Quran dan
Hadits guna melahirkan generasi muda baru yang memiliki aqidah shahihah,
intelektual serta mental yang kuat sebagai muslim ideal. Sultan juga menjadikan
masjid sebagai pusat pendidikan non formal yang menekankan upaya menyuburkan
kembali semangat Islam dan mengeliminir ajaran-ajaran menyimpang.
3.
LAHIRNYA GENERASI BARU PEMBEBAS BAITUL MAQDIS
Segala kebijakan Nuruddin untuk menelurkan generasi baru pun
membuahkan hasil. Tokoh sebesar Shalahuddin tidaklah lahir sendiri tanpa proses
yang panjang dan perencanaan yang matang. Dalam karyanya “Al-Mahasin
Al-Yusufiyyah wa an Nawadir Sulthaniyyah”
Ibnu Syaddad membahas fase-fase perjalanan kehidupan seorang
Shalahuddin.
Menurut catatan sejarah tentang fase pertama kehidupan Shalahuddin
tidak lebih dari seorang pemuda biasa yang suka menghabiskan waktunya untuk
bermain bola, menunggang kuda dan permainan anak muda umumnya. Keadaan ini
terus berlanjut sampai ketika menyertai pamannya Asaduddin Syirkuh, yang
merupakan panglima tertinggi tentara Nuruddin dalam sebuah ekpedisi ke Mesir.
Di sinilah Shalahuddin mulai bersentuhan langsung dengan Mu’askar
‘Aqidiy (pasukan yang mengusung nilai luhur aqidah Islam) yang telah melatih
diri dengan bekal pemikiran, semangat dan kemiliteran. Shalahuddin
menggambarkan kondisi kejiwaannya saat mulai bergabung dengan pasukan ini
seperti berikut,
“Sebenarnya aku sangat tidak suka untuk bergabung dengan pasukan
dalam misi pernyerbuan kali itu. Keikutsertaanku bersama paman bukan didorong
oleh pilihanku sendiri. Inilah hikmah yang dapat diambil dari firman Allah
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal ia adalah lebih baik bagi kamu”.
(Al-Baqarah:216)”
Dalam Thabaqat Asy-Syafiiyah jilid 7 halaman 241, As-Subki
menegaskan ada perubahan pada kepribadian Shalahuddin, ia menyatakan, “Saat
Shalahuddin memutuskan untuk bergabung dengan pasukan Nuruddin, ia telah
meninggalkan gaya hidup yang bergelimang kenikmatan.”
Maka, saat itulah terjadi perubahan radikal pada diri Shalahuddin
berkat pengaruh bimbingan islami yang dialaminya dan pada saat itulah dia mulai
menempatkan dirinya dalam arus gerakan Islam yang dipimpin oleh Nuruddin. Ibnu
Syaddad menceritakan perubahan besar dalam hidup Shalahuddin dan konsistensinya
dalam mengikuti prinsip-prinsip Islam setelah kematian pamannya, Asaduddin
Syirkuh sekaligus menggantikan posisinya sebagai wazir di Mesir. Saat itu umur
Shalahuddin baru 32 tahun.
Bahkan pada akhirnya ia memegang tampuk tertinggi Fathimiyah
setelah khalifah Al-‘Adhid (khalifah terakhir) meninggal dunia karena sakit.
Shalahuddin mendirikan dua madrasah Nashiriyah dan Kamiliyah agar rakyat
berpindah ke madzab yang benar dan turut menyiapkan perubahan yang diinginkan
negara. Nuruddin mendesak agar khutbah
jumat yang biasa disampaikan atas nama khalifah Fathimiyah digantikan atas nama
khalifah Abbasiyah, Al-Mustadhi’.
Walaupun Shalahuddin berkuasa penuh di Mesir, hal ini tidak
melunturkan rasa loyalitasnya pada Nuruddin. Ia membuat mata uang dengan nama
Nuruddin, mengirimkan hadiah berharga kepadanya dari perbendaharaan Mesir.
Namun, masih ada pihak-pihak yang tidak suka dengan hubungan baik ini.
Upaya-upaya buruk untuk merongrong hubungan baik ini berhasil dipatahkan oleh
Shalahuddin. Shalahuddin terus memberikan loyalitasnya yang tulus kepada
Nuruddin hingga putra Imaduddin ini wafat pada 569 H/1173 M.
Pada masa ini akhirnya Shalahuddin menjadi penguasa wilayah timur
muslim tanpa diperselisihkan, juga komandan yang senantiasa diharapkan dalam
berbagai pertempuran untuk membebaskan negeri umat Islam. Maka, pembebasan
kiblat pertama umat Islam telah di depan mata.
Semenjak wafatnya Nuruddin, terbukalah berbagai kesempatan lebar
bagi Shalahuddin untuk menyatukan dunia Islam di bawah satu pemerintahan. Allah
pun memberikan kesempatan itu dan ia berhasil menguasai kerajaan besar mencakup
Irak, Syiria, Mesir dan Barqah. Setelah itu, Shalahuddin mulai melakukan
persiapan untuk memerangi orang Frank dan membebaskan Al-Quds.
Percikan pertama terjadi ketika Shalahuddin memerangi Reginald de
Chatillon, raja Karak. Reginald menyerang kafilah dagang Shalahuddin pada 582
H. Padahal antara Shalahuddin dan pemerintahan negeri ini terjali perdamaian.
Di antara klausul perdamaiannya adalah diizinkannya kafilah dagang Islam
melintas dari Mesir ke Syiria atau sebaliknya dengan jaminan keamanan.
Ketika mengetahui hal ini, Shalahuddin marah besar dan bersumpah
akan membunuh Reginald dengan tangannya sendiri. Sumpah ini akan menjadi kenyataan
pada akhirnya. Setelah serangan keji ini, Shalahuddin mulai bersiap
mengumpulkan pasukan. Waktu itu adalah waktu kembalinya jemaah haji Muslim.
Penguasa Karak bersiap-siap untuk memburu dan menyerang ketika
kembali. Sementara itu, Shalahuddin juga bersiap-siap untuk melindungi mereka
setelah mengumumkan jihad di semua penjuru negerinya. Para jamaah haji pun
melintas dengan selamat dan mendoakan kemenangan bagi pasukan Shalahuddin.
Setelah mengumpulkan dan mengatur pasukan, Shalahuddin mengadakan
musyawarah untuk membicarakan bagaimana menyerang musuh dan kapan waktunya.
Majelis pun menyepakati untuk keluar pada 17 Rabiul Akhir 583 H setelah shalat
jum’at di antara lantunan takbir dan doa kaum muslimin.
4.
PERANG SALIB DAN KEMENANGAN UMAT ISLAM
Shalahuddin keluar dari Damaskus. Tatkala sampai di Ra’s Al-Maa’,
dia menjadikannya markas untuk berkumpul pasukan. Putranya, Al-Malik Al-Afdhal,
tetap berada di Ra’s Al-Maa’, sedangkan dia melanjutkan perjalanan ke Busra.
Sementara itu, Muzahafarudin Kukubri bergerak ke Acre. Dari Busra, Shalahuddin
bergerak ke benteng Karakdan Syaubak, kemudian kembali ke Tiberias. Dia
senantiasa berusaha mengajak umat Islam berperang di jalan Allah. Apabilan
melihat dirinya, ia sering bersedih dan berduka cita. Ia tidak berselera makan
dan makan hanya sedikit saja.
Ketika ditanya mengenai sebab hal itu, dia menjawab,”Bagaimana saya
bisa merasa senang, menikmati makanan dan tidur dengan tenang, sementara
Jerussalem berada di tangan Pasukan Salib?”
Teman dekatnya, Al-Qadhi Baha’uddin bin Syidad, menggambarkan
keadaannya ketika berperang melawan pasukan Salib. Dia berkata,”Bagi
Shalahuddin, pendudukan Jerussalem adalah perkara penting yang tidak mampu
dipikul oleh gunung.”
Pasukan Salib memastikan adanya rencana yang disusun Shalahuddin
untuk melawan mereka. Para pemimpin mereka menyatukan langkah dan mengumpulkan
pasukan. Mereka bergerak ke Tiberias dan bertemulah dua pasukan besar ini di
sebuah tempat yang bernama Hittin. Waktu subuh baru saja berlalu. Terik
matahari yang membakar mulai menyebar. Keadaan ini dimanfaatkan pasukan
mujahidin menyerang pasukan Salib yang kehausan karena para ksatria Islam telah
menguasai sumber air.
Shalahuddin pun berhasil memisahkan pasukan kavaleri berkuda dengan
pasukan infantri. Pasukan musuh terpaksa mundur karena serangan sporadia yang
mereka terima. Setelah terjadi pertempuran sengit antara dua pihak, Shalahuddin
meraih kemenangan mutlak.
Sementara itu pasukan Salib kalah telak. Hanya ada dua pilihan bagi
pasukan ini, terbunuh atau tertawan. Jumlah korban dari pihak pasukan Salib
mencapai sepuluh ribu orang. Pasukan Shalahuddin terus bergerak di sekitar
puncak gunung, sedangkan di hadapan mereka terlihat pasukan Salib yang lari
tunggang langgang. Kondisi pasukan yang kacau balau membuat sang raja Jerussalem
tertawan berikut sang penjahat perang Reginald.
Shalahuddin mendirikan tenda dan berkumpul bersama para petinggi
dan penasehatnya. Ia mendatangan raja Guy de Lusignan dan Reginald de
Chatillon. Keduanya diperintahkan untuk duduk di dalam kemah. Raja Guy merasa
haus dan meminta air minum. Lalu didatangkan air es padanya. Ia pun meminumnya
dan memberikan sisanya pada Reginald. Melihat hal itu, Shalahuddin berkata,
“Kami tidak akan memberikab air kepadanya sehingga dirinya merara aman.”
Kemudian Shalahuddin berdiri dan mencela perbuatan buruk Reginald
terhadap kafilah kaum muslim dan tindakan pelecehannya terhadap Rasulullah.
Shalahuddin memenggal leher Reginald dengan tangannya sendiri untuk
melaksanakan janji dan sumpahnya. Melihat kejadian itu, raja Guy ketakutan.
Shalahuddin menenangkannya dan berkata, “Tidak biasanya para raja itu membunuh
raja lainnya. Akan tetapi orang ini (Reginald) telah melampaui batas. Maka dari
itu terjadilah apa yang telah terjadi.” Kemudian Shalahuddin memerintahkan pasukannya
untuk mengirim raja itu ke Damaskur beserta kaummnya yang masih tersisa dengan
penuh keramahan dan penghormatan.
Berakhirlah perang Hittin dan kemenang mutlak di tangan para
mujahidin. Setelah itu pasukan Shalahuddin bergerak ke pelabuhan Acre. Pendudukanya
menyerah dengan keamanan. Shalahuddin memasuki kota ini pada Jumadil Ula tahun
583 H. Kemudian pasukan Muslim menduduki kota dan benteng di sekitar Acre,
seperti Tabnain, Sidon, Jubail dan Beirut. Kemudian Shalahuddin bergerak ke
pantai dan memblokade Askalon selama 14
hari. Blokade ini berakhir dengan penyerahan kota tersebut.
Dengan menyerahnya kota ini, Shalahuddin semakin menancapkan
blokade terhadap Jerussalem, sebab penguasaan kota ini menghalangi kota
Jerussalem dari bantuan pasukan Salib yang
datang dari arah pantai. Shalahuddin bergerak ke Al-Quds setelah menguasai
Ramlah, Ad-Darum, Gaza, Bethlehem dan An-Natrum.
Shalahuddin ingin memasuki Al-Quds dengan tidak menimpakan
keburukan dan kerusakan. Dia memilih masuk kota Jerussalem dengan damai tanpa
mengerahkan pasukannya yang banyak. Sebab, hal itu bisa menghancurkan
bangunan-bangunannya dan mencemari kesuciannya. Shalahuddin ingin mengulang
kembali perjalanan hidup khalifah Umar bin Khattab dalam menaklukkan kota ini
untuk kedua kalinya.
Oleh karena itu, Shalahuddin mengirimkan beberapa utusan kepada
penduduk Al-Quds untuk meminta mereka menyerahkan kota ini dengan beberapa
syarat yang dia tentukan. Shalahuddin menyampaikan pada mereka,”Sesungguhnya
saya benar-benar meyakini bahwa Jerussalem adalah rumah Allah yang suci
sebagaimana yang kalian yakini. Saya tidak ingin menimpakan kerusakan kepada
rumah Allah ini dengan memblokade atau menyerangnya.”
Namun demikian, orang-orang Frank tidak mau memenuhi keinginan
Shalahuddin. Mereka tidak memikirkan akibat yang akan terjadi. Akhirnya
Shalahuddin bertekad mengambil alih Jerussalem melalui peperangan dan
perlawanan. Belum sampai berlalu sepekan dari perlawanan, Al-Quds menyerah.
Orang-orang Frank bersedia untuk berdamai. Diadakanlah persetujuan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a.
Mereka dipersilahkan meninggalkan
Jerussalem dalam jangka waktu 40 hari.
b.
Laki-laki di antara mereka harus
menebus dirinya sebesar 10 dinar, perempuan 5 dinar dan anak-anak dua dinar.
c.
Barangsiapa tidak mampu menebus
dirinya maka dia akan menjadi tawanan.
Perlakuan baik diperagakan Shalahuddin kepada para penduduk
Al-Quds. Kontras dengan apa yang dilakukan pasukan Salib ketika menduduki
Al-Quds dengan genangan darah.
Shalahuddin mendatangkan Muhyiddin bin Az-Zaki untuk menjadi khatib
Masjidil Aqsha pada hari jumat yang agung di Masjidil Aqsa. Kemenangan ini
disambut suka cita oleh seluruh kaum muslimin saat itu. Al-Aqsa kembali
difungsikan menjadi masjid setelah sekian lama tidak digunakan.
Saat ini Al-Aqsa kembali tertawan oleh musuh Allah. Orang-orang
Yahudi menjarah dan merampok tanah umat Islam di Palestina. Umat Islam menunggu
lahirnya generasi Shalahuddin yang baru untuk menaklukkan kembali Al-Aqsa ke
dalam pangkuan umat Islam. Wallahu a’lam bi shawab.
BAB 3
PENUTUPAN
1.
KESIMPULAN
Islam, seperti halnya yang dicitakan Shalahuddin serta gurunya,
Nuruddin Zanki. Yang penting untuk diperhatikan, generasi Shalahuddin tidak
lahir begitu saja di medan perang tanpa ada faktor yang menyertainya. Mereka
lahir karena adanya sebab dan proses yang dijalani. Dari keluarga, lingkungan
serta masyarakat yang shalih dan kuat beragama, lahir sosok Shalahuddin.
Dari Shalahuddin kita belajar bahwa jihad paling utama yang harus
dilakukan sebelum maju di medan tempur adalah terlebih dahulu menghancurkan
musuh di dalam diri masing-masing. Sebab di sana ada benteng yang harus
dihancurkan sebelum menghancurkan benteng musuh.
Hari ini, Palestina dan Baitul Maqdis terus menyeru kepada kaum
Muslim akan kesulitan yang mereka lalui. Sejarah selalu berputar, dan kini ia
kembali kepada mereka dengan keadaan penuh derita. Berbagai peristiwa yang
terjadi saat ini di tubuh umat Islam memberikan gambaran bahwa keadaan mereka
tidak berbeda jauh dengan 10 abad sebelumnya, di masa-masa sebelum pasukan
Salib datang menyerang. Jatuhnya Baitul Maqdis dalam perang Salib juga
mengajarkan pada kita bahwa perpecahan itu melemahkan dan hanya akan berujung
tangis penyesalan. Ia mengajarkan bahwa keinginan untuk saling menjatuhkan
hanya akan menjauhkan rahmat Allah untuk memberikan kepada kita kemenangan.
Sudah sepatutnya kita kembali membuka lembaran lama. Membacanya dengan saksama
seraya mencatat apa yang bisa kita ambil sebagai ibrah dan pelajaran.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(Q.S.Al-Anfal:46)
Daftar Pustaka
Al-Kilani, D. M. (t.thn.). Misteri Masa Kelam
Islam dan Kemenangan Perang Salib. Kalam Aulia Mediatama.
Ulwan, D. A. (t.thn.). Salahudin Al-Ayyubi, Sang
Penakluk Jerussalem. Al-Wafi.
www.Kiblat.net. (t.thn.). Dipetik 2 25, 2019, dari www.Kiblat.net: https://www.kiblat.net/2017/12/22/shalahuddin-dan-generasi-pembebas-al-aqsha/2/